11.07.2008

Deathly Hallow Chapter3

Chapter 3The Dursleys DepartingKEBERANGKATAN KELUARGA DURSLEY
Suara pintu dibanting hingga bergema sampai terdengar ke lantai atas, dan terdengar suara teriakan, “Hei! Boy!”
Sudah enam belas tahun ia terbiasa dipanggil seperti itu, sehingga Harry tahu siapa yang dipanggil. Tapi, ia tidak bergegas untuk menjawab. Ia masih tertegun melihat pecahan cermin, yang dalam beberapa detik yang lalu, ia berpikir telah melihat mata Dumbledore. Hingga pamannya berteriak, ‘BOY!’ yang membuat Harry berdiri dan berjalan menuju pintu kamarnya perlahan. Ia berhenti sebentar dan memasukkan pecahan cermin itu ke dalam ransel yang penuh dengan berbagai barang yang akan dibawanya.
“Nikmati waktumu selagi bisa!” teriak Vernon Dursley saat melihat Harry muncul di puncak tangga. “Turun kemari. Aku ingin sebuah penjelasan!” Harry berjalan menuruni tangga, tangannya berada dalam saku celana jeansnya. Saat ia masuk ke ruang tamu, ia melihat keluarga Dursley sudah memakai pakaian bepergian mereka. Paman Vernon memakai jaket kulit rusanya, bibi Petuna memakai mantel berwarna salmonnya, dan Dudley, sepupu Harry yang besar, pirang, dan berotot, memakai jaket kulitnya.
“Ya?” tanya Harry.
“Duduk!” kata paman Vernon. Harry menaikkan alisnya. “Tolong!” tambah paman Vernon, sambil mengernyit, seakan kata yang ia ucapkan melukai tenggorokannya. Harry duduk. Sepertinya ia tahu apa yang akan terjadi. Pamannya mulai memutari ruangan, Bibi Petunia dan Dudley memperhatikannya dengan cemas. Akhirnya, dengan wajahnya yang besar dan ungu yang tengah berkonsentrasi, paman Vernon berhenti tepat di depan Harry dan ia mulai berbicara.
“Aku berubah pikiran,” katanya. “Mengejutkan sekali,” kata Harry.
“Jangan sekali-kali kau…” Bibi Petunia memulai pembicaraan dengan suaranya yang melengking, tapi Vernon Dursley mengangkat tangannya, menyuruhnya diam. “Semua ini omong kosong,” kata paman Vernon sambil menatap Harry dengan matanya yang kecil. “Aku telah memutuskan untuk tidak mempercayainya. Kami akan tetap di sini dan tidak akan pergi ke mana-mana.” Harry melihat pamannya dan merasakan campuran antara rasa jengkel dan kagum. Vernon Dursley telah mengubah pikirannya setiap dua puluh empat jam selama empat minggu terakhir. Berkemas, membongkarnya, dan berkemas lagi tergantung suasana hatinya. Momen kesukaan Harry adalah saat paman Vernon, tidak menyadari bahwa Dudley memasukkan samsak tinju ke dalam tas, ia berusaha mengangkatnya tapi gagal dan membuatnya terjatuh bersamaan dengan rasa sakit dan sumpah serapahnya. “Seperti yang kau katakan,” kata paman Vernon, melanjutkan kegiatan berjalan berputarnya, “kami, Petunia, Dudley, dan aku, sedang dalam bahaya. Yang disebabkan oleh… oleh…”
“Oleh ’kaumku’, kan?” kata Harry. “Oh, aku tak percaya ini,” kata paman Vernon, yang berdiri di depan Harry lagi. “Aku terjaga semalaman memikirkan segalanya, dan menurutku kau berencana untuk mengambil alih rumah ini.” “Rumah?” ulang Harry. “Rumah apa?” “Rumah ini!” teriak paman Vernon, pembuluh darah di kepalanya mulai berdenyut. “Rumah kami! Rumah yang harganya terus meroket! Kau ingin kami pergi dan kau akan melakukan hocus pocus-mu dan tiba-tiba tanpa sepengetahuan kami, rumah ini sudah jadi atas namamu dan…” “Apa kalian sudah gila?” tuntut Harry. “Rencana untuk mengambil alih rumah? Apa kalian sebodoh tampang kalian?” “Berani-beraninya kau…” cicit Bibi Petunia, tapi lagi-lagi Vernon membuatnya diam.
“Apa kalian lupa,” kata Harry, “aku sudah punya, bapak baptisku memberikannya untukku. Jadi mengapa aku menginginkan rumah ini? Karena kenangannya yang indah?” Semua terdiam. Harry mengira pamannya kagum dengan argumennya. “Katamu,” kata paman Vernon, mulai berjalan memutar lagi, “masalah Lord itu…” “Voldemort,” kata Harry tak sabar, “dan kita sudah membahasnya ratusan kali. Dan ini bukan kataku, ini kenyataan, Dumbledore sudah mengatakannya pada kalian, juga Kingsley, dan Tuan Weasley…” Vernon melengkungkan bahunya dengan marah, dan Harry menebak bahwa pamannya sedang mengingat-ingat kunjungan mendadak, saat liburan musim panas Harry, dua orang penyihir dewasa. Kedatangan Kingsley Shacklebolt dan Arthur Weasley ke depan pintu rumah keluarga Dursley membuatnya tidak senang. Harry tahu, kedatangan Tuan Weasley yang terakhir menyebabkan setengah dari ruang tamunya hancur, dan kedatangannya kembali tidak mungkin disambut hangat oleh paman Vernon. “… Kingsley dan tuan Weasley juga sudah menjelaskannya padamu,” kata Harry tanpa penyesalan. “Saat aku berusia tujuh belas, mantra perlindungan yang menjagaku akan hilang dan tak lagi melindungi aku ataupun kalian. Anggota Orde yakin bahwa Voldemort akan menggunakanmu untuk menemukanku, atau mungkin bila dia menjadikanmu tawanan, aku akan datang dan mencoba untuk menyelamatkanmu.”
Mata paman Vernon dan Harry beradu. Harry yakin bahwa mereka memikirkan hal yang sama. Lalu paman Vernon melanjutkan langkahnya dan Harry berkata, “Kalian harus pergi untuk bersembunyi, dan anggota Orde ingin membantu. Kalian telah ditawari perlindungan terbaik.”
Paman Vernon tidak berkata apa-apa dan tetap berjalan. Di luar, matahari mulai turun menuju garis cakrawala. Tetangga sebelah telah selesai memangkas rumput halamannya.
“Aku kira kalian memiliki Kementrian Sihir?” tanya paman Vernon tiba-tiba. “Memang ada,” kata Harry, terkejut. “Kalau begitu, mengapa mereka tidak melindungi kami? Menurutku, sebagai korban yang tak bersalah, kami seharusnya mendapat perlindungan dari pemerintah!” Harry tertawa, ia tak bisa menahan dirinya sendiri. Pamannya mengharapkan adanya peraturan, walaupun dalam dunia yang ia benci. “Kau dengar apa yang tuan Weasley dan Kingsley katakan,” Harry mengingatkan. “Kami pikir Kementriran telah disusupi.” Paman Vernon berhenti di depan perapian dan menarik nafas dalam-dalam membuat kumis hitam besarnya bergerak-gerak, dan wajahnya tetap ungu karena berkonsentrasi. “Baiklah,” katanya, kini ia berdiri lagi di depan Harry. “Baiklah, karena segala alasan yang ada, kami menerima perlindungan itu. Tapi aku masih tidak mengerti mengapa kami tidak dilindungi oleh Kingsley?” Harry tidak dapat mencegah dirinya untuk tidak memutar matanya. Pertanyaan ini pun sudah ditanyakan berkali-kali.
“Aku kan sudah katakan,” katanya dengan gigi terkatup, “Kingsley menjaga Perdana Menteri Mug… maksudku, Perdana Menteri kalian.”
“Benar sekali, dia yang terbaik!” kata paman Vernon, menunjuk layar TV yang kosong. Dursley menyadari keberadaan Kingsley di berita TV, berjalan di belakang Perdana Menteri Muggle saat melakukan kunjungan ke rumah sakit. Dan fakta bahwa Kingsley mahir berpakaian seperti Muggle, tidak termasuk suaranya yang pelan, dalam, dan mampu meyakinkan keluarga Dursley, menyebabkan keluarga Dursley tidak ingin diurus oleh penyihir lain, walaupun mereka belum pernah melihat Kingsley saat ia memakai antingnya. “Yah, dia sudah menjaga yang lain.” Kata Harry. “Tapi Hestia Jones dan Dedalus Diggle mampu menjaga kalian…” “Walau kami sudah pernah lihat CVnya…” mulai paman Vernon, tapi Harry kehilangan kesabaran. Ia berdiri, menantang pamannya, dan menunjuk layar TV. “Kecelakaan itu bukan kecelakaan biasa – tabrakan, ledakan, hal-hal aneh, atau apapun yang terjadi yang kita lihat di TV. Banyak orang hilang dan meninggal, dan dia ada di belakang semua ini – Voldemort. Aku telah mengatakan hal ini padamu berulang kali, dia membunuh Muggle hanya untuk bersenang-senang. Bahkan beberapa di antaranya disebabkan oleh Dementor, dan bila kau tidak ingat apa itu, tanyakan pada anakmu!”
Dudley tersentak, tangannya menutupi mulutnya. Seluruh mata di ruangan itu tertuju padanya, perlahan ia menurunkan tangannya dan bertanya, “Apa mereka… ada begitu banyak?” “Banyak?” Harry tertawa. “Lebih dari dua yang menyerang kita, maksudmu? Tentu saja, jumlah mereka beratus-ratus banyaknya, mungkin sudah menjadi beribu-ribu sekarang ini, melihat banyaknya hal yang menakutkan yang terjadi…”
“Baiklah, baiklah,” potong Vernon Dursley. “Kami mengerti maksudmu…” “Aku harap begitu,” kata Harry, “karena begitu aku berumur tujuh belas, semuanya – Pelahap Maut, Dementor, bahkan Inferi, yang merupakan mayat yang disihir oleh Sihir Hitam – dapat menemukanmu dan menyerangmu. Dan bila kau ingat saat terakhir kali engkau mencoba lari dari penyihir, aku yakin kau akan membutuhkan bantuan.” Semuanya terdiam saat mereka mengingat suara dentuman saat Hagrid menghancurkan pintu kayu beberapa tahun lalu. Bibi Petunia melihat paman Vernon dan Dudley menatap Harry. Akhirnya paman Vernon berbicara, “Tapi bagaimana dengan pekerjaanku? Bagaimana dengan sekolah Dudley? Sepertinya hal itu tidak terpikirkan oleh penyihir seperti kalian…” “Apa kalian tidak mengerti juga?” teriak Harry. “Mereka akan menyiksa dan membunuh kalian seperti mereka melakukannya pada orang tuaku!”
“Ayah,” kata Dudley dengan suara keras, “Ayah – aku akan ikut dengan orang-orang Orde.” “Dudley,” kata Harry, “untuk pertama kalinya dalam hidupmu, kau mengatakan hal yang masuk akal.”
Harry tahu bahwa ia telah memenangkan pertarungan. Bila Dudley cukup ketakutan hingga ia menerima tawaran anggota Orde, orang tuanya akan menemaninya. Tidak mungkin mereka mau berpisah dengan Diddykins. Harry memerhatikan jam yang berada di atas perapian. “Mereka akan tiba dalam lima menit,” katanya, dan saat tak seorang pun membalas ucapannya, ia meninggalkan ruangan. Kemungkinan untuk berpisah dari bibi, paman, dan sepupunya untuk selamanya, satu-satunya hal yang dapat membuatnya senang. Tapi tetap saja ada kemungkinan lain. Apa yang akan kau katakan pada orang yang kau benci selama enam belas tahun?
Di kamarnya, Harry menyeret ranselnya, lalu memasukkan kacang ke sangkar Hedwig. Kacang itu jatuh begitu saja ke dasar sangkar, tanpa dipedulikan Hedwig.
“Kita akan segera berangkat, sebentar lagi,” Harry berkata padanya. “Dan kau dapat terbang.” Bel pintu berbunyi. Harry ragu, namun ia tetap keluar dari kamar dan turun. Tidak mungkin Hestia dan Dedalus dapat menghadapi keluarga Dursley sendirian. “Harry Potter!” seru suara yang terdengar bersemangat, begitu Harry membuka pintu. Seorang pria kecil dengan topi ungunya langsung membungkukkan badannya. “Sebuah kehormatan!” “Terima kasih, Dedalus,” kata Harry, ia tersenyum malu-malu pada Hestia. “Baik sekali kalian mau melakukan hal ini… Mereka orang-orang yang keras, bibi, paman, dan sepupuku…”
“Selamat sore, keluarga Harry Potter!” kata Dedalus riang, ia langsung berjalan masuk ke dalam ruang tamu. Keluarga Dursley tidak tampak gembira saat menemui mereka.
Harry mengira pamannya akan mengubah pikirannya lagi. Dudley langsung menempel pada ibunya begitu melihat para penyihir itu.
“Aku melihat kalian sudah siap. Bagus! Rencananya seperti yang telah Harry katakan pada kalian,” kata Dedalus sambil memeriksa saku mantelnya. “Kita akan berangkat sebelum Harry. Karena Harry masih di bawah umur dan belum diizinkan untuk menggunakan sihir, hal ini akan memudahkan Kementrian untuk menangkapnya. Kita akan berkendara sejauh kurang lebih enam belas kilo sebelum kita bisa ber-Disapparate menuju tempat perlindungan. Kau tahu bagaimana cara mengemudi? Atau aku yang harus melakukannya?” ia bertanya dengan sopan pada paman Vernon.
“Tahu bagaimana cara…? Tentu saja aku tahu bagaimana cara mengemudi!” kata paman Vernon tersinggung. “Pintar sekali Anda, sangat pintar, aku sendiri akan kebingungan dengan semua tombol dan kenop itu,” kata Dedalus. Jelas sekali Dedalus sedang mencoba menyanjung Vernon Dursley. “Tidak bisa mengemudi,” gumamnya marah membuat kumisnya bergerak-gerak. Untung saja Dedalus dan Hestia tidak memperhatikannya. “Sedangkan Harry,” lanjut Dedalus, “akan menunggu para pengawal. Ada sedikit perubahan rencana…”
“Apa maksudmu?” kata Harry. “Bukankah Mad-Eye akan datang dan membawaku ber-Apparate?”
“Tidak bisa,” jawab Hestia. “Mad-Eye akan menjelaskannya nanti.”
Keluarga Dursley, yang mendengarkan pembicaraan yang tidak mereka mengerti, terkejut begitu mendengar suara yang berteriak keras “Cepat!” Harry menoleh mencari sumber suara itu sebelum akhirnya sadar bahwa suara itu berasal dari jam saku Dedalus. “Benar juga, kita terburu waktu,” kata Dedalus, melihat jam sakunya dan memasukkanya lagi ke dalam saku mantelnya. “Kami usahakan agar engkau berangkat pada waktu yang bersamaan saat keluargamu ber-Apparate, karena perlindungan akan hilang begitu kau berangkat menuju tempat perlindungan.” Lalu ia berbicara pada keluarga Dursley, “Sudah siap?”
Tidak seorang pun menjawab. Bahkan paman Vernon masih menatap saku mantel Dedalus. “Mungkin kita harus menunggu di luar, Dedalus,” bisik Hestia, yang mengira akan terjadi perpisahan penuh cinta dan air mata. “Tidak perlu,” gumam Harry, dan paman Vernon juga tidak memberi penjelasan, dan langsung berkata, “Baiklah, saat untuk berpisah.” Ia menyodorkan tangan kanannya untuk menjabat tangan Harry, tapi ia berubah pikiran di detik-detik terakhir, dan langsung mengepalkan tangannya dan menggerakkannya maju mundur seperti metronome. “Siap, Diddy?” tanya Bibi Petunia, sambil memeriksa tasnya sekaligus menghindar untuk menatap Harry. Dudley tidak menjawab, tapi berdiri dengan mulut yang mulai membuka, mengingatkan Harry akan Grawp.
“Baiklah kalau begitu,” kata paman Vernon.
Ia telah membuka pintu saat Dudley tiba-tiba bergumam, “Aku tidak mengerti.”
“Apa yang tidak kamu mengerti, Popkin?” tanya Bibi Petunia, melihat anaknya. Dudley mengangkat tangannya yang besar dan menunjuk Harry,
“Mengapa dia tidak pergi bersama kita?”
Paman Vernon dan Bibi Petunia berdiri membeku, memandangi Dudley heran, seakan mereka mendengar kalau Dudley ingin menjadi balerina.
“Apa?” kata paman Vernon.
“Mengapa dia tidak ikut?” tanya Dudley.
“Dia… dia tidak ingin,” kata paman Vernon, menatap Harry lalu menambahkan, “Kau tidak ingin, kan?” “Tidak sedikit pun,” kata Harry.
“Baiklah kalau begitu,” paman Vernon berkata pada Dudley. “Sekarang, ayo berangkat.”
Ia berjalan keluar dari ruangan. Mereka mendengar pintu depan membuka, tapi Dudley tidak bergerak bahkan Bibi Petunia ikut berhenti setelah mulai melangkah. “Sekarang apa lagi?” teriak paman Vernon, muncul dari pintu depan.
Sepertinya Dudley sedang berpikir dalam gagasannya yang nampaknya tidak mudah diuraikan dalam kata-kata. Setelah beberapa saat kemudian, ia berkata, “Tapi, ke mana dia akan pergi?” Bibi Petunia dan paman Vernon saling berpandangan. Jelas sekali Dudley telah membuat mereka takut. Hestia Jones memecah kesunyian.
“Tapi… kau tahu ke mana keponakanmu akan pergi, kan?” tanyanya, nampak kebingungan.
“Tentu saja kami tahu,” kata Vernon Dursley. “Dia akan pergi ke rumah salah satu temanmu, kan? Ayo, Dudley, masuk ke mobil, kau dengar dia tadi, kita terburu-buru.” Lalu, Vernon Dursley berjalan keluar, tapi Dudley tidak mengikutinya.
Hestia tampak marah. Harry pernah mengalami hal ini, penyihir yang terpaku melihat bahwa keluarga terdekatnya tidak memiliki ketertarikan atas Harry Potter yang begitu terkenal. “Tidak apa-apa,” Harry meyakinkan Hestia. “Bukan masalah besar.”
“Tidak apa-apa?” ulang Hestia, nada suaranya meninggi. “Apakah orang-orang itu tidak tahu apa saja yang telah kau alami? Apakah mereka tahu bahwa engkau sedang dalam bahaya? Apakah mereka tahu posisimu sebagai jantung dari gerakan anti-Voldemort?” “Er… tidak, mereka tidak tahu,” kata Harry. “Mereka pikir aku hanya buang-buang waktu, tapi aku sudah terbiasa…” “Kau tidak sedang buang-buang waktu.” Bila Harry tidak melihat bibir Dudley yang bergerak, mungkin ia tak akan percaya. Ia menatap Dudley selama beberapa detik sebelum sadar bahwa sepupunya baru saja berbicara. Tiba-tiba muka Dudley berubah merah. Tiba-tiba Harry merasa malu dan terpesona.
“Yah… er… terima kasih, Dudley.” Lalu, Dudley nampak sibuk sendiri dengan pikirannya, lalu tiba-tiba menggumam, “Kau telah menyelamatkan nyawaku.” “Tidak juga,” kata Harry. “Dementor mencoba menyedot jiwamu…”
Harry menatap sepupunya penuh dengan rasa ingin tahu. Selama musim panas ini dan musim panas lalu mereka tidak sekali pun saling berbicara, karena Harry memang selalu berada di kamarnya. Ini merupakan awal bagi Harry. Mungkin, cangkir teh tadi pagi bukan sekadar jebakan belaka. Walau merasa sedikit tersentuh, ia tetap saja merasa senang saat melihat Dudley berusaha setengah mati saat mengungkapkan perasaannya. Setelah membuka mulutnya satu dua kali, Dudley memutuskan untuk tetap diam. Bibi Petunia tiba-tiba menangis. Hestia Jones yang awalnya tersentuh kembali marah saat Bibi Petunia datang dan memeluk Dudley, bukannya pada Harry. “Ma-manis sekali, Dudders…” isaknya di dada Duddley, “Su-sungguh anak baik… me-mengucapkan terima kasih…” “Tapi dia tidak mengucapkan terima kasih sama sekali!” kata Hestia marah. “Dia hanya bilang bahwa Harry tidak buang-buang waktu!” “Yah, tapi bila itu berasal dari Dudley, itu bisa saja berarti “aku cinta padamu”,” kata Harry membuat Bibi Petunia antara merasa terganggu dan ingin tertawa. Bibi Petunia memeluk Dudley seakan ia baru saja menyelamatkan Harry dari gedung yang terbakar.
“Kita berangkat tidak?” teriak paman Vernon yang sudah muncul lagi di ruang tamu. “Aku kira kita punya sedang diburu waktu!”
“Ya, ya, tentu saja,” kata Dedalus Diggle yang sedang terkagum-kagum melihat apa yang terjadi. Tapi ia memaksakan diri, “Kami harus berangkat, Harry…” Dedalus melangkah maju dan menjabat tangan Harry dengan kedua tangannya. “… semoga beruntung. Semoga kita berjumpa lagi. Nasib dunia sihir berada di pundakmu.”
“Oh,” kata Harry “iya. Terima kasih.”
“Hati-hati Harry,” kata Hestia, yang juga menjabat tangannya. “Kami selalu bersamamu.”
“Semoga semuanya akan baik-baik saja,” kata Harry sambil memandang ke arah Bibi Petunia dan Dudley.
“Oh, aku yakin kami akan baik-baik saja,” kata Diggle riang, melambaikan topinya saat meninggalkan ruangan. Hestia mengikutinya. Perlahan Dudley melepaskan diri dari pelukan ibunya dan berjalan mendekati Harry, lalu menyodorkan tangannya yang besar. “Ya ampun, Dudley,” kata Harry, “apakah Dementor mengubah kepribadianmu?”
“Entahlah,” kata Dudley. “Sampai jumpa, Harry.”
“Yah…” kata Harry, yang kemudian menyambut tangan Dudley dan menjabatnya. “Mungkin. Hati-hati, Big D.”
Dudley tersenyum tipis, lalu berlalu meninggalkan ruangan. Harry dapat mendengar langkah beratnya menuju mobil, dan terdengar suara pintu ditutup.
Bibi Petunia yang menutupi wajahnya dengan saputangan, tidak menyangka hanya ia yang tertinggal sendiri bersama Harry. Ia langsung memasukkan saputangannya yang basah ke dalam tas dan berkata, “Baiklah, sampai jumpa,” dan ia berjalan keluar tanpa mau melihat Harry.
“Sampai jumpa,” kata Harry.
Ia berhenti dan menoleh. Untuk beberapa saat Harry merasakan perasaan teraneh saat melihat bibinya menatap dirinya, wajah bibinya tampak aneh dan gemetar, dan tampaknya ia akan mengatakan sesuatu, tapi ia menggelengkan kepalanya dan segera meninggalkan ruangan mengikuti suami dan anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bijak dan lugas adalah kunci sebuah kritik dapat dinalar dengan otak dan dapat dicerna oleh mata !